Matoa ( Pometia pinnata ) adalah tanaman buah khas Papua , tergolong pohon besar dengan tinggi rata-rata 18 meter dengan diameter rata-rata maksimum 100 cm. [1] Umumnya berbuah sekali dalam setahun. Berbunga pada bulan Juli sampai Oktober dan berbuah 3 atau 4 bulan kemudian. Penyebaran buah matoa di Papua hampir terdapat di seluruh wilayah dataran rendah hingga ketinggian ± 1200 mdpl. Tumbuh baik pada daerah yang kondisi tanahnya kering (tidak tergenang) dengan lapisan tanah yang tebal. Iklim yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang baik adalah iklim dengan curah hujan yang tinggi (>1200 mm/tahun). Matoa juga terdapat di beberapa daerah di Sulawesi , Maluku , dan Papua New Guinea . Buah matoa memiliki rasa yang manis . Di Papua dikenal 2 jenis matoa, yaitu Matoa Kelapa dan Matoa Papeda . Ciri yang membedakan keduanya adalah terdapat pada tekstur buahnya, Matoa Kelapa dicirikan oleh daging buah yang kenyal seperti rambutan aceh , diameter buah 2,2-2,9 cm dan
Kayu-hitam Sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari suku eboni-ebonian ( Ebenaceae ). Nama ilmiahnya adalah Diospyros celebica , yakni diturunkan dari kata "celebes" ( Sulawesi ), dan merupakan tumbuhan endemik daerah itu. Pohon ini menghasilkan kayu yang berkualitas sangat baik. Warna kayu coklat gelap, kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan. Dalam perdagangan internasional kayu hitam sulawesi ini dikenal sebagai Macassar ebony , Coromandel ebony , streaked ebony atau juga black ebony . Nama-nama lainnya di Indonesia di antaranya kayu itam, toetandu, sora, kayu lotong, dan kayu maitong. Kayu hitam berat dengan berat jenis melebihi air, sehingga tidak dapat mengapung. Kayu hitam sulawesi terutama digunakan untuk mebel mahal, ukir-ukiran dan patung, alat musik (misalnya gitar dan piano ), tongkat, dan kotak perhiasan. Jenis ini hanya terdapat di Pulau Sulawesi, di hutan primer pada tanah liat , pasir atau tanah berbatu-batu ya